Thursday, November 12, 2015

Tionghoa Nasionalis dan Oportunis

Harian Suara Merdeka 13 November 2015 ,oleh Hendra Kurniawan dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


13 November 2015 1:50 WIB Category: SmCetak, Wacana A+ / A-
Click Here
STIGMAbegitu kuat yang telanjur melekat memang sulit untuk dibabat. Seakan telah menjadi sebuah common sense bahwa kalangan Tionghoa dianggap tidak memiliki peran secuil pun dalam perjuangan bangsa ini.
Kalau pun disebut, posisinya senantiasa dipojokkan sebagai kelompok antagonis yang tidak mendukung kemerdekaan. Parahnya lagi, stereotip itu terus dihidupi dalam memori kolektif masyarakat sehingga makin menguatkan sikap diskriminatif terhadap Tionghoa yang sangat menyakitkan. Dalam era sekarang, pemikiran macam ini tidak bisa dibiarkan terus berkembang.
Memasuki masa reformasi, kehidupan demokrasi mencapai fase yang semakin matang. Diskriminasi suku, ras, agama, dan golongan sudah semestinya tidak lagi beroleh tempat. Masyarakat harus membuka diri untuk menerima kenyataan bahwa warga Tionghoa yang sejak berabadabad lalu telah menjadi bagian dari bangsa ini, ternyata memiliki sumbangsih yang tidak sedikit dalam perjuangan meraih, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan.
Kiranya tepat apabila dalam memperingati Hari Pahlawan pada 10 November, masyarakat Indonesia diajak untuk kembali menilik sejarah. Dalam pertempuran heroik 10 November 1945 yang terjadi di Surabaya, masyarakat Tionghoa berperan sebagai pejuang bersenjata maupun kemanusiaan.
Cerita ini bukanlah isapan jempol belaka, ada fakta yang tidak dapat dipungkiri. Beberapa surat kabar yang terbit kala itu menulis dengan jelas dukungan Tionghoa bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika itu para pemuda Tionghoa di Surabaya membentuk TKR Chungking yang turut menyerbu ke medan pertempuran.
Tali persaudaraan antara pemuda- pemuda pribumi dengan Tionghoa digambarkan begitu erat. Tercatat pula Barisan Palang Merah Tionghoa di Surabaya memberikan pertolongan kepada para korban perang tanpa membedakan suku bangsa. Siauw Giok Tjhan dalam Renungan Seorang Patriot Indonesia juga menulis bahwa di Malang berdiri Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang mendukung kemerdekaan RI.
Beberapa di antara mereka kemudian bergabung dalam barisan Bung Tomo, seperti Giam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek. Saat itu situasi sangat tidak menentu. Penjarahan dan perampokan seringkali terjadi yang sasarannya kebanyakan rumah dan toko milik orang Tionghoa.
Akibatnya ada beberapa orang Tionghoa yang memilih menjadi mata-mata Belanda dan bertugas memengaruhi orang Tionghoa lain agar berpihak kepada Belanda. Semua ini dilakukan agar Belanda bersedia memberikan perlindungan dan keselamatan bagi warga Tionghoa yang selama ini terancam. Kondisi ini lantas menimbulkan konflik internal di kalangan Tionghoa.
Kemunculan Solidaritas
Suatu kali pernah terjadi bentrokan antara pemuda Tionghoa yang pro Republik dengan Tionghoa antek Belanda. Seorang pemuda Tionghoa pendukung Republik mati terbunuh. Solidaritas pun muncul dengan dilakukan upaya pembersihan terhadap matamata Belanda. Upaya pembersihan dilakukan oleh pemuda Tionghoa yang tergabung dalam TKR Chunking pimpinan Tse An Hui. Sikap ini menunjukkan bahwa keberpihakan pada kemerdekaan Republik jauh lebih penting dari ikatan primordial kesukuan.
Dalam pertempuran 10 November 1945, banyak warga Tionghoa yang enggan mengungsi bersama penduduk Surabaya lain. Mereka memilih tinggal di dalam rumah masing-masing dan berhari-hari tidak keluar rumah. Ketika itu sudah lama bahan makanan sulit diperoleh, maka sekalipun di rumah sendiri, kondisi orang Tionghoa tidak berbeda dengan warga di pengungsian. Mereka kekurangan makanan dan senantiasa diliputi perasaaan was-was.
Berakhirnya perang tak lantas membuat segala sesuatu kembali normal. Hampir setiap saat warga Surabaya termasuk orang-orang Tionghoa harus menerima hinaan dan cacian yang dilontarkan oleh para serdadu Sekutu dan tentara Gurkha. Lebih menyakitkan lagi para perempuan Tionghoa seringkali dilecehkan.
Akibatnya terjadi aksi pemogokan yang dilakukan oleh orangorang Tionghoa. Mereka menutup toko- toko, pasar-pasar kosong, dan para pegawai Tionghoa tidak masuk kerja. Aksi protes ini menyebabkan terjadinya bentrokan dengan tentara Sekutu. Tujuh orang Tionghoa terluka dan empat di antaranya luka berat terkena granat tangan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa masyarakat Tionghoa tidak tinggal diam menghadapi perilaku sewenang-wenang yang dilakukan oleh Sekutu.
Keresahan muncul karena Tionghoa sebagai minoritas lebih dominan dalam bidang ekonomi sehingga mengancam Belanda yang hendak kembali berkuasa dengan membonceng tentara Sekutu. Sikap patriotisme yang dimiliki oleh masyarakat Tionghoa menunjukkan bahwa mereka juga merasa ikut memiliki (melu handarbeni) atas Indonesia yang telah menjadi tanah tumpah darahnya.
Atas dasar itu pula membuat mereka rela untuk ikut berkorban (melu hangrungkebi) demi tegaknya Republik Indonesia. Keberadaan etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia sebagaimana etnis lain harus diterima dengan tangan terbuka. Apalagi mereka terbukti pula memiliki sumbangsih bagi tegaknya negeri ini. Selamat Hari Pahlawan. (43)
— Hendra Kurniawan, dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

No comments: