Harian Suara Merdeka 13 November 2015 ,oleh Hendra Kurniawan dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
STIGMAbegitu
kuat yang telanjur melekat memang sulit untuk dibabat. Seakan telah
menjadi sebuah common sense bahwa kalangan Tionghoa dianggap tidak
memiliki peran secuil pun dalam perjuangan bangsa ini.
Kalau pun disebut, posisinya senantiasa dipojokkan sebagai kelompok
antagonis yang tidak mendukung kemerdekaan. Parahnya lagi, stereotip itu
terus dihidupi dalam memori kolektif masyarakat sehingga makin
menguatkan sikap diskriminatif terhadap Tionghoa yang sangat
menyakitkan. Dalam era sekarang, pemikiran macam ini tidak bisa
dibiarkan terus berkembang.
Memasuki masa reformasi, kehidupan demokrasi mencapai fase yang
semakin matang. Diskriminasi suku, ras, agama, dan golongan sudah
semestinya tidak lagi beroleh tempat. Masyarakat harus membuka diri
untuk menerima kenyataan bahwa warga Tionghoa yang sejak berabadabad
lalu telah menjadi bagian dari bangsa ini, ternyata memiliki sumbangsih
yang tidak sedikit dalam perjuangan meraih, mempertahankan, dan mengisi
kemerdekaan.
Kiranya tepat apabila dalam memperingati Hari Pahlawan pada 10
November, masyarakat Indonesia diajak untuk kembali menilik sejarah.
Dalam pertempuran heroik 10 November 1945 yang terjadi di Surabaya,
masyarakat Tionghoa berperan sebagai pejuang bersenjata maupun
kemanusiaan.
Cerita ini bukanlah isapan jempol belaka, ada fakta yang tidak dapat
dipungkiri. Beberapa surat kabar yang terbit kala itu menulis dengan
jelas dukungan Tionghoa bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika itu
para pemuda Tionghoa di Surabaya membentuk TKR Chungking yang turut
menyerbu ke medan pertempuran.
Tali persaudaraan antara pemuda- pemuda pribumi dengan Tionghoa
digambarkan begitu erat. Tercatat pula Barisan Palang Merah Tionghoa di
Surabaya memberikan pertolongan kepada para korban perang tanpa
membedakan suku bangsa. Siauw Giok Tjhan dalam Renungan Seorang Patriot
Indonesia juga menulis bahwa di Malang berdiri Angkatan Muda Tionghoa
(AMT) yang mendukung kemerdekaan RI.
Beberapa di antara mereka kemudian bergabung dalam barisan Bung Tomo,
seperti Giam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek. Saat itu situasi sangat
tidak menentu. Penjarahan dan perampokan seringkali terjadi yang
sasarannya kebanyakan rumah dan toko milik orang Tionghoa.
Akibatnya ada beberapa orang Tionghoa yang memilih menjadi mata-mata
Belanda dan bertugas memengaruhi orang Tionghoa lain agar berpihak
kepada Belanda. Semua ini dilakukan agar Belanda bersedia memberikan
perlindungan dan keselamatan bagi warga Tionghoa yang selama ini
terancam. Kondisi ini lantas menimbulkan konflik internal di kalangan
Tionghoa.
Kemunculan Solidaritas
Suatu kali pernah terjadi bentrokan antara pemuda Tionghoa yang pro
Republik dengan Tionghoa antek Belanda. Seorang pemuda Tionghoa
pendukung Republik mati terbunuh. Solidaritas pun muncul dengan
dilakukan upaya pembersihan terhadap matamata Belanda. Upaya pembersihan
dilakukan oleh pemuda Tionghoa yang tergabung dalam TKR Chunking
pimpinan Tse An Hui. Sikap ini menunjukkan bahwa keberpihakan pada
kemerdekaan Republik jauh lebih penting dari ikatan primordial kesukuan.
Dalam pertempuran 10 November 1945, banyak warga Tionghoa yang
enggan mengungsi bersama penduduk Surabaya lain. Mereka memilih tinggal
di dalam rumah masing-masing dan berhari-hari tidak keluar rumah. Ketika
itu sudah lama bahan makanan sulit diperoleh, maka sekalipun di rumah
sendiri, kondisi orang Tionghoa tidak berbeda dengan warga di
pengungsian. Mereka kekurangan makanan dan senantiasa diliputi perasaaan
was-was.
Berakhirnya perang tak lantas membuat segala sesuatu kembali normal.
Hampir setiap saat warga Surabaya termasuk orang-orang Tionghoa harus
menerima hinaan dan cacian yang dilontarkan oleh para serdadu Sekutu dan
tentara Gurkha. Lebih menyakitkan lagi para perempuan Tionghoa
seringkali dilecehkan.
Akibatnya terjadi aksi pemogokan yang dilakukan oleh orangorang
Tionghoa. Mereka menutup toko- toko, pasar-pasar kosong, dan para
pegawai Tionghoa tidak masuk kerja. Aksi protes ini menyebabkan
terjadinya bentrokan dengan tentara Sekutu. Tujuh orang Tionghoa terluka
dan empat di antaranya luka berat terkena granat tangan. Peristiwa ini
menunjukkan bahwa masyarakat Tionghoa tidak tinggal diam menghadapi
perilaku sewenang-wenang yang dilakukan oleh Sekutu.
Keresahan muncul karena Tionghoa sebagai minoritas lebih dominan
dalam bidang ekonomi sehingga mengancam Belanda yang hendak kembali
berkuasa dengan membonceng tentara Sekutu. Sikap patriotisme yang
dimiliki oleh masyarakat Tionghoa menunjukkan bahwa mereka juga merasa
ikut memiliki (melu handarbeni) atas Indonesia yang telah menjadi tanah
tumpah darahnya.
Atas dasar itu pula membuat mereka rela untuk ikut berkorban (melu
hangrungkebi) demi tegaknya Republik Indonesia. Keberadaan etnis
Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia sebagaimana etnis lain
harus diterima dengan tangan terbuka. Apalagi mereka terbukti pula
memiliki sumbangsih bagi tegaknya negeri ini. Selamat Hari Pahlawan.
(43)
— Hendra Kurniawan, dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta